
Dengan tengah berjalannya program vaksinasi yang dilakukan oleh pemerintah, masih terdapat sebagian kelompok masyarakat yang belum memasuki penerima prioritas. Golongan ini diantaranya kelompok usia anak-anak. Di tengah kelompok yang sudah menerima vaksin, apa saja implikasi yang terjadi pada kegiatan sehari-hari suatu keluarga yang memiliki anak?
Sebuah artikel opini yang ditulis oleh David Leonhardt untuk The New York Times memberikan pandangan yang menarik. Artikel yang diterbitkan pada 22 April 2021 ini menyinggung fakta bahwa hamper 50% warga Amerika Serikat sudah menerima setidaknya satu dosis vaksin. Dengan laju vaksinasi yang tengah terjadi di negeri bersangkutan, diprediksikan bahwa hampir seluruh populasi orang dewasa dapat menerima vaksin hingga akhir bulan Juli tahun ini. Hal ini bertentangan dengan anak kecil, yang tampaknya masih harus menunggu beberapa bulan sebelum mendapatkan dosis vaksinasi pertama.
Liburan tentu saja merupakan hal yang dinantikan oleh setiap anggota keluarga. Sama halnya dengan Indonesia, beberapa rumah tangga menjadikan libur sekolah sebagai momen kebersamaan dengan berlibur. Sebelum pandemic hal ini bukanlah hal yang luar biasa. Anak-anak seharusnya dapat mengikuti aktivitas bersama kelompok hobi, menemui kerabat, bermain bersama teman, atau bahkan bepergian menggunakan pesawat untuk berwisata. Kini, orang tua dihadapkan pada dua pilihan, (1) menjauhkan anak dari kegiatan yang dianggap beresiko serta (2) perlahan melakukan aktivitas seperti sediakala. Kedua pendekatan ini tidak sepenuhnya salah, dengan beberapa catatan.
Orang tua yang merasa khawatir dengan peningkatan laju COVID-19 di negara masing-masing akan berusaha untuk memberikan pengertian kepada anak bahwa beberapa kegiatan memiliki resiko yang tinggi. Hal ini tentu masuk akal, mengingat mutase virus yang kian bermunculan di berbagai negara. Opsi kedua akan ditempuh oleh beberapa orang tua yang beranggapan bahwa melarang anak di berbagai kegiatan akan memiliki dampak lebih negatif dibandingkan resiko penularan COVID-19 itu sendiri. Studi menunjukkan bahwa dengan “mengurung” anak di rumah, dapat juga berdampak pada kesehatan anak – kesepian, kecemasan dan merasa kehilangan masa-masa penting dalam hidupnya hanya mendeskripsikan sebagian fenomena yang dialami anak yang tengah beranjak usia remaja.
Dr. Amesh Adalja, ahli pandemi dari universitas Johns Hopkins menekankan bahwa penting bagi orang tua untuk menelaah kesehatan anak secara keseluruhan, dan tidak hanya dari sudut pandang COVID-19 saja. Salah satu contoh yang dapat dijadikan argumentasi untuk membiarkan anak-anak beraktivitas (tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan) adalah dengan melihat angka kematian yang ditimbulkan dari COVID-19 pada orang dewasa dan anak-anak. COVID-19 terbukti menjadi penyebab kematian kedua dan ketiga tertinggi untuk kelompok usia 50 – 84 dan > 85 secara berurutan. Pada kelompok anak-anak, COVID-19 dapat dilihat sebagai penyakit sehari-hari yang tidak mempengaruhi kehidupan secara drastis. Data dari CDC juga menunjukkan bahwa tingkat kematian anak-anak akibat COVID-19 serupa dengan angka yang diakibatkan oleh flu musiman. Sebagai perbandingan, terdapat 5 kematian di antara 100.000 anak pada kelompok usia 0 – 4 akibat COVID-19 yang sangat jauh bila dibandingkan dengan 265 kematian di antara 100.000 orang dewasa pada kelompok usia 50 –64. Stephen Kissler, peneliti di Harvard T.H. Chan School of Public Health menambahkan bahwa COVID-19 bukan resiko besar bagi kelompok usia di bawah 18 tahun.
Pada akhirnya, pembatasan kegiatan anak merupakan pilihan pribadi orang tua. Hal yang perlu diperhatikan bahwa bertindak untuk kebaikan bagi anak-anak tidak selamanya sejalan dengan mengurangi resiko COVID-19. Tentu saja hal ini harus diiringi dengan menerapkan protokol kesehatan 5M selama berkegiatan.
Kontributor: Addina Shafiyya Ediansjah