
Tahukah kamu bahwa Indonesia tengah mengalami kenaikan kasus COVID-19 kembali selama 1 bulan terakhir? Meskipun belum secara resmi memasuki gelombang ketiga, Kementrian Kesehatan terus melakukan upaya pemantauan guna mendeteksi indikator kenaikan kasus. Varian Omicron yang kini sudah hadir di tengah kita dapat dikatakan memiliki gejala lebih ringan, namun bukan berarti bahwa varian ini dapat dianggap sepenuhunya ringan. Mari kita simak bersama penjelasannya.
Omicron dikatakan sebagai varian milder, but not mild oleh para ahli.
Sebuah studi berjudul “Early assessment of the clinical severity of the SARS-CoV-2 omicron variant in South Africa: a data linkage study” yang dilakukan oleh Wolter dkk. pada tahun 2022 menganalisis tingkat keparahan kasus COVID-19 varian Omicron di Afrika Selatan. Analisis dilakukan dengan mengaitkan data skala nasional di Afrika Selatan, hasil tes laboratorium, hasil tes genome serta data admisi rumah sakit setempat.
Penentuan tingkat keparahan pasien terkonfirmasi positif COVID-19 dilakukan dengan tes S gene target failure (SGTF) menggunakan Thermo Fisher Scientific TaqPath PCR. Infeksi dikategorikan sebagai SGTF (penanda kehadiran Omicron) ketika seorang individu terdeteksi positif menggunakan TaqPath COVID-19 dengan S gene target tidak terdeteksi serta memiliki cycle threshold (CT) ≤ 30. Sebaliknya, infeksi dikategorikan sebagai non-SGTF ketika seorang individu terdeteksi positif menggunakan TaqPath COVID-19 dengan S gene target terdeteksi pada CT yang sama. SGTF dijadikan sebagai indikasi keberadaan Omicron mengingat varian lain tidak memiliki karakteristik yang serupa selama periode studi.
Tingkat penyakit yang parah didefinisikan ketika pasien mengalami setidaknya salah satu dari kriteria berikut:
- Menerima perawatan di intensive care unit (ICU)
- Menerima perawatan dengan oksigen
- Diberikan ventilator
- Menerima extracorporeal membrane oxygenation
- Menunjukkan gejala respiratory distress akut
- Meninggal dunia
Lebih dari 11.000 pasien (80% berusia 19-59 tahun, 55,9% diantaranya wanita) dilaporkan memiliki tingkat keparahan akibat COVID-19 lebih rendah yang ditunjukkan oleh tingkat admisi rumah sakit yang menurun. Penemuan ini didapatkan dengan membandingkan kasus Omicron (B.1.1.529) dengan Delta (B.1.617.2).
Nealon dan Bowling memberikan ulasan atas hasil ini. Afrika Selatan diketahui telah terdampak oleh gelombang infeksi virus secara berulang. Belum ada keterkaitan yang pasti antara jumlah peningkatan kasus dengan reduksi efek infeksi SGTF pada akhir 2021. Reinfeksi COVID-19 secara umum lebih ringan bila dibandingkan dengan infeksi pertama, dan pada Desember 2021, lebih dari 70% populasi Afrika Selatan telah memiliki antibodi baik melalui vaksinasi atau infeksi alami. Penentuan tingkat keparahan menggunakan kriteria yang sebelumnya telah disebutkan tidak menunjukkan hasil signifikan, yang dapat disebabkan oleh jumlah kasus parah yang rendah. Hal ini juga dikuatkan dengan studi yang melaporkan reduksi patogenesis pada model hewan serta kemampuan replikasi virus pada sel-paru paru yang lebih rendah untuk varian Omicron.
Penurunan tingkat keparahan varian Omicron ini memang merupakan penemuan yang sangat penting. Namun tetap penting untuk mengingat bahwa tingkat keparahan penyakit yang menurun pun masih dapat mengakibatkan efek sosial seperti penyakit, kehilangan produktivitas, tingginya stres serta tekanan pada fasilitas kesehatan akibat staf yang absen. Dinamika epidemi varian Omicron kemungkinan besar memiliki dampak yang lebih rendah dibandingkan varian sebelumnya. Tingkat admisi rumah sakit sebesar 21% akibat gejala parah di Afrika Selatan ini dapat bervariasi pada daerah dengan demografi serta tingkat imunitas berbeda. Studi Wolter dkk. tentunya merupakan kabar gembira, namun kita tidak boleh lengah dan langsung berasumsi bahwa varian ini akan menunjukkan perilaku yang sama di wilayah lain.
Kontributor: Addina Shafiyya Ediansjah