Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar atau menerima pesan yang berisi ajakan untuk mendonorkan plasma darah dari seseorang yang telah dinyatakan sembuh dari COVID-19. Pernahkah kamu bertanya terkait cara kerja donor plasma ini? Simak artikel berikut untuk mengetahui penjelasannya.
Apa itu plasma dan terapi donor plasma?
Plasma merupakan istilah untuk bagian cair serta berwarna kuning dari darah yang mengandung antibodi. Dalam konteks donor plasma, yang digunakan merupakan convalescent plasma, dengan istilah convalescent sendiri mengacu kepada seseorang yang telah dinyatakan sembuh dari infeksi. Ternyata, terapi donor plasma ini telah diterapkan di sejumlah negara. Di Amerika Serikat, Food and Drug Administration (FDA) telah menyimpulkan bahwa jenis pengobatan ini berpotensi efektif terhadap penanganan COVID-19. Eijkman, lembaga penelitian pemerintah Indonesia sendiri tengah mengembangkan pengobatan alternatif ini.
Bagaimana mekanisme donor plasma ini bekerja?
Terapi plasma convalescent menggunakan plasma darah dari pasien COVID-19 yang telah dinyatakan sembuh. Pasien yang telah dinyatakan sembuh telah membentuk antibodi terhadap COVID-19, dan antibodi inilah yang kemudian didonorkan kepada pasien yang tengah menjalani perawatan. Plasma dari pasien yang telah dinyatakan sembuh ini dapat mengeliminasi atau imobilisasi virus sehingga lingkaran infeksi terputus. Bagi sang pasien yang tengah menjalani perawatan, plasma ini diharapkan mampu menghindari tubuh dari serangan virus serta memperbaiki jaringan yang telah rusak.
Apa saja syarat yang harus dipenuhi seorang donor plasma?
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Amin Soebandrio selaku Direktur Lembaga Molekuler Eijkman, berikut merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang donor plasma:
- Melengkapi berkas administrasi
- Memiliki antibodi dalam kadar yang cukup
- Memiliki kecocokan golongan darah dengan penerima plasma
- Memenuhi kondisi kesehatan (telah dinyatakan sembuh dari COVID-19 dan tidak mengandung malaria, virus HIV, hepatitis dan sebagainya)
Perlu diperhatikan pula bahwa pengambilan plasma ini cenderung dilakukan untuk pendonor laki-laki karena tidak memiliki antigen HLA. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh NHS Blood and Transplant di Inggris yang memprioritaskan pendonor yang memenuhi salah satu kriteria: (1) berjenis kelamin laki-laki, (2) di atas 35 tahun, (3) berasal dari komunitas Asia serta (4) telah melakukan perawatan untuk COVID-19.
Per 8 September 2020, Indonesia sendiri telah melakukan uji klinis terapi plasma darah di RSUP Fatmawati Jakarta, RS Hasan Sadikin Bandung, RSUD Kabupaten Sidoarjo serta RSAL Ramelan Surabaya. Pasien penerima donor plasma akan diberikan 200 ml plasma sebanyak 2 dua kali dari donor yang telah dinyatakan sembuh. Lalu, kondisi pasien akan diamati selama 28 hari dari pemberian pertama. Berdasarkan pernyataan dari Kementrian Riset dan Teknologi, terapi plasma telah dinyatakan lolos uji klinis fase 1 dan tengah memasuki uji klinis fase 2 pada 21 Oktober 2020. Pengembangan lain berupa produk imunomodulator serta suplemen spesifik yang menjaga daya tahan tubuh dari COVID-10 juga tengah dikembangkan oleh PT Kalbe Farma, karena menurut Bambang Brodjonegoro, vaksin tidak menimbulkan daya tahan tubuh yang berlangsung seumur hidup dan harus dievaluasi secara berkala.
Terlepas dari berbagai kabar baik terkait pengembangan pengobatan serta vaksin yang tengah dilakukan di Indonesia, jangan sampai kita lengah dalam menjaga kondisi kesehatan tubuh ya! Langkah yang tampak sederhana seperti taat terhadap protokol 3M, hanya akan berhasil apabila dilakukan secara konsisten.
Kontributor: Addina Shafiyya Ediansjah