Kita tentunya sering mendengar atau bahkan mengenal seseorang yang tengah menerima perawatan untuk kasus terkonfirmasi COVID-19 – namun bagaimana dengan penyintas yang mengalami gejala long COVID, atau kondisi dimana seseorang yang telah dinyatakan sembuh pun masih dapat mengalami efek samping berkepanjangan. Apa implikasi dari pandemi yang tengah berlangsung ini bagi fasilitas kesehatan dunia?
Mari kita membahas definisi dari long COVID itu sendiri
Dilansir dari NHS, bagi sebagian orang, COVID-19 dapat menyisakan gejala setelah beberapa minggu, atau bulan, setelah dinyatakan negatif. Hal ini juga dikenal dengan istilah post COVID-19 atau long COVID. Kemungkinan kamu menderita long COVID juga tidak terkait dengan kondisi kesehatanmu sewaktu pertama kali terinfeksi. Sehingga, orang yang mengalami gejala ringan pun dapat menderita gejala jangka panjang. Studi Menges et al. (2021) di Swiss menyebutkan bahwa sebanyak 26% pasien positif COVID-19 menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pulih sepenuhunya setelah 6 – 8 bulan infeksi awal. Sebnyak 55% melaporkan kelelahan, dan 25% menderita grade 1 dyspnea dan 26% memiliki skor DASS-21 yang menigindikasikan gejala depresi.
Dalam konteks varian Omicron, tampaknya kemungkinan seseorang untuk menderita long COVID pun tidak berbeda dengan varian lainnya. Jason Maley, direktur klinik di Beth Israel Deaconess Medical Center mengungkap bahwa seiring meningkatnya kasus Omicron, hal ini akan turut meningkatkan kasus long COVID.
Implikasi long COVID terhadap kesiapan fasilitas kesehatan
Majalah TIME mengungkap kisah Laura Fitton, seorang wirausahawan dari Massachusets yang dilaporkan perlu menunggu hingga bulan Juli (artikel diterbitkan Feburari 2022) untuk menerima perawatan terhadap long COVID, setelah terinfeksi pada Maret 2020 silam. Selama proses menunggu, Laura dikabarkan menangani gejalanya secara mandiri yang untungnya telah membaik semenjak vaksinasi.
Dengan ditelitinya gejala long COVID, negara Amerika sudah berhasil membuka fasilitas perawatan yang secara khusus menangani kasus ini. Namun demikian, fasilitas kesehatan tampaknya masih kewalahan untuk menangani permintaan konsultasi pasien long COVID. Data pasti akan jumlah pasien long COVID pun menjadi salah satu masalah yang harus ditangani. Pada tahun 2020, Amerika mengestimasi 10 – 30% dari pasien positif COVID-19 akan mengembangkan gejala long COVID. New England Journal of Medicine mengestimasi bahwa setidaknya 15 juta orang akan mengalami long COVID setelah pandemi berakhir (studi dipublikasikan sebelum kemunculan Omicron).
Penderita long COVID memiki gejala yang spesifik sehingga seringkali membutuhkan perawatan secara multi-disiplin dari dokter spesialis. Hal ini tentunya memerlukan tidak hanya tenaga medis lebih banyak, namun juga membutuhkan perawat, asisten medis serta administrator fasilitas kesehatan. Riset awal menunjukkan bahwa karena virus dapat mempengaruhi otak, efek psikologis juga dapat dirasakan oleh para penderita.
Dampak long COVID bagi tidak hanya kesehatan fisik, namun mental
Dr. Brad Nieset dari Montana Long COVID Clinic menyatakan bahwa pasien long COVID tidak hanya memerlukan dukungan secara fisik dan kesehatan, namun juga mental. Sebagian penyintas merasa bersalah karena telah sembuh, sementara sebagian besar orang lain tidak. Sebagian penyintas juga merasa kesulitan untuk beradaptasi terhadap kondisi tubuh mereka setelah terinfeksi COVID-19.
Pada akhirnya, sumber permasalahan long COVID tidak hanya terletak pada kekurangan fasilitas perawatan, dokter, serta dukungan (baik secara medis serta orang terdekat para penyintas). Setelah beraktivitas dalam keadaan pandemi selama hampir 2 tahun terakhir, penyedia lapangan kerja sudah seharusnya memfasilitasi cuti sakit berbayar yang cukup yang disertai dengan akses terhadap fasilitas kesehatan. Apakah kita akan melihat perubahan positif akan penanganan long COVID di masa depan?
Kontributor: Addina Shafiyya Ediansjah